CERPEN GADIS CANTIK DI RUANG MUSIK
Gadis
Cantik Di Ruang Musik
Karya
: Pipin Zahara
Suara
gemercik air hujan menemani perjalan ku malam ini, papa yang sedang nyetir
mobil tampaknya sangat senang dengan perjalanan kali ini, begitu pun dengan
mama dan adikku mereka semua terlihat bersemangat tampak di raut wajah mereka
yang tiada henti bercerita tentang rumah baru. Tapi berbeda dengan ku,
sepanjang perjalan, aku hanya melirih keluar dan melihat pemandangan yang asri
dan sejuk, pepohonan pinus disepanjang jalan tampak begitu indah dengan sorot
lampu jalan yang yang menggambarkan seakan tetesan hujan mulai reda. “Tempat
yang indah”, pikirku. Kulayangkan kembali pikiran ku untuk mencoba melukiskan
seperti apa rumah baru ku kali ini. Terbayang disetiap sudut-sudut ruangan
benda-benda atau pajangan-pajangan yang melukiskan era tauhun 80-an itu. Dan
yang jelas, rumah itu harus ada ruang musiknya, cetusku. Ku buka kaca jendela
mobil, dan kuhirup udara segar di jalanan tepian kota itu. Sangat asri. tapi
masih saja aku tidak setuju dengan kepindahan kami ke rumah baru itu.”kak,
sedikit lagi kita akan sampai”, ujar adikku.
Sesampainya
di rumah baru kami, aku buru-buru bertanya dimana letak toilet, “ma, toiletnya
sebelah mana?.” Belum sempat mama menjawab pertanyaan ku, tanpa pikir panjang aku
langsung masuk ke dalam rumah itu. Ku telusuri ruangan demi ruangan, dan
akhirnya aku menemukan sebuah toilet di dekat ruang musik. “Ah ruang musik”
pikirku. Perasaan senang muncul ketika aku melihat piano tua yang sangat indah.
Rasa senang itu masih kalah dengan perasaanku yang tak ingin pindah dari
rumahku yang lama. Jauh dan asing, begitulah aku menggambarkan tempat tinggal
yang sekarang, sebenarnya aku kurang setuju dengan kepindahan ini tapi aku
tidak juga bisa menolak permintaan papa yang ingin membeli rumah baru.
Kecintaan
papa dengan bangunan-bangunan arsitektur model taun 80-an ini lama-lama mulai
mengganggu ku, mama juga tak bisa disalahkan, mama selalu mendukung
keputusan papa apaun itu. Kegiatan memindahkan barang-barang telah
selesai, aku tidur di lantai atas bersebelahan dengan kamar adikku Faras,
sedangkan mama dan papa tidur di kamar bawah.
“Sunyi
sekali disini”, pikirku. Aku yang terbiasa tinggal di pusat kota dengan hiruk
pikuk kendaraan sangat merasakan perbedaannya. Lama mata ku terpejam menyesuaikan
diri untuk beranjak tidur, tapi tiba-tiba terdengar suara piano yang
mengalunkan melodi-melodi indah nan klasik dan diikuti suara perempuan yang
merdu sekali. Lama aku berfikir, “siapa yang memainkan piano di tengah malam
begini? “ pikir ku. Aku tak ingin memikirkan hal-hal yang aneh, aku harus
melihatnya sendiri siapakah orang yang bermain piano itu. Tanpa pikir panjang
aku hendak bergegas turun ke bawah, tapi tiba-tiba suara itu berhenti dan tak
terdengar lagi. “aneh”, gumamku.
Hari
ini hari libur, tak ada jadwal kuliah hari ini, sesekali aku ingin bangun lebih
siang. Menikmati tidur di pagi hari yang sangat sulit aku dapatkan. Tiba-tiba,
“Cin, Cindy!!” dari suaranya aku tau pasti itu suara mama. “kakak, hari ini
kita akan beres-beres rumah kak” ujar adikku. Sesaat pikiranku tentang tidur
lebih lama pun buyar. Beres-beres rumah baru pun selesai. Perasaan ingin tahu
ku muncul lagi, ingin ku bertanya pada mama apakah dia yang bermain piano tadi
malam, tapi pertanyaanku ku simpan, mungkin saja aku yang salah dengar tadi
malam.
Sorenya aku kedatangan tamu, yaitu Rara sahabat ku
satu-satunya di kampus, kemaren malam dia bertanya alamat baruku. Seperti biasa
aku sangat senang bercerita dengan Rara, dia pribadi yang sangat ramah dan
mudah berbagi. Kami menyusuri pinggir jalan yang tidak terlalu ramai. Daun-daun
berguguran dengan indah dalam semburat sinar matahari yang keemasan. Pinggiran
kota Padang , disanalah rumahku.
Hari sudah menunjukkan pukul 9 malam, tidak mungkin Rara
pulang ke rumahnya, butuh waktu satu jam untuk sampai kesana. Akhirnya Rara
bermalam di rumahku. Papa, mama dan adikku tidak pulang hari ini, mereka akan
bermalam di rumah sepupuku di kota. Aku sedikit merasa takut dan khawatir, aku
tak ingin memdengarkan suara piano itu lagi malam ini. Tapi untunglah aku tak
sendirian, ada Rara di rumah ku.
Tiba-tiba suara piano itu terdengar lagi, Rara yang
berusaha memejamkan matanya segera
membuka matanya kembali. “ Cin, itu siapa yang main piano malam-malam
begini?” ujar Rara. “aku juga tidak tahu Ra, semalam aku juga mendengarnya tapi
kupikir itu hanya halusinasi ku saja, tapi sekarang kamu juga mendengarnya”.
Sontak bulu kuduk kami merinding. Rara yang sangat penakut selalu berdiri di
belakang ku dan memegang bajuku.
Tanpa berpikir panjang lagi aku turun sendiri kebawah dan
melirik ke arah ruang musik tersebut. Aku bagai melihat sosok cantik dengan
baju putih yang seakan sangat lihai memainkan piano tua itu. Meski tak secatik Joddie
Poster atau Cameron Diaz sekalipun, namun menatapnya membuatku nyaman dan
sedikit heran. Siapakah Dia? Kenapa Dia bermain piano di rumahku. Apakah dia
belum tahu kalau sekarang rumah ini sudah menjadi milik papaku? Belum hilang
heranku saat tiba-tiba sosok itu menghilang begitu saja. Malam selanjutnya aku kerap
melihat sosok itu disana. Membuatku semakin heran saja.
Malam berikutnya mama dan adikku juga tidak pulang,
katanya papa ada urusan mendadak di kota. Ku minta Rara untuk menginap lagi
dirumah ku, dia menolak karna kejadian tadi malam yang membuatnya sangat takut.
Malam ini aku di rumah sendirian.
Rasa penasaranku makin kuat. Malam ini aku kembali
melihat ruangan musik itu. Berharap bisa mendapati sosok cantik itu lagi.
Suasana tenang tanpa hiruk pikuk membuatku terkantuk. Diantara kantukku, aku
mencoba memperjelas penglihatanku ketika aku menangkap bayangan berkelebat di
sana. Derit langkahku terdengar olehnya. Dia menoleh. Agaknya dia terkejut
dengan kedatanganku. Hei! Cepat sekali perginya. Dia menghilang!.
Aku penasaran. Apakah dia.. dia..?
aku terpukau dengan perasaan kacau. Tapi beberapa menit kemudian aku melihatnya kembali duduk di kursi piano itu dengan memainkan melodi-melodi yang sangat indah. Aku terpaku. Aku mendekatinya. “Hai!” sapa ku ramah. Dia menoleh tersenyum.”kamu siapa? Kenapa ada disni?” tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum. Jangan-jangan dia bisu! “aku Diana,” ujarnya tiba-tiba sambil tersenyum.”aku suka main piano disini.”
aku terpukau dengan perasaan kacau. Tapi beberapa menit kemudian aku melihatnya kembali duduk di kursi piano itu dengan memainkan melodi-melodi yang sangat indah. Aku terpaku. Aku mendekatinya. “Hai!” sapa ku ramah. Dia menoleh tersenyum.”kamu siapa? Kenapa ada disni?” tanyaku lagi. Dia hanya tersenyum. Jangan-jangan dia bisu! “aku Diana,” ujarnya tiba-tiba sambil tersenyum.”aku suka main piano disini.”
“ya aku sering mendengar
mu main piano di tengah malam, apakah dulu kamu tinggal di sini?” tanyaku.
“iya..” jawabnya. “tapi sekarang rumah ini sudah jadi milik papaku..”
“maksudnya kamu keberatan kalau aku masih suka main piano disini?” tanyanya
agak kecewa.” Oh..nggak-nggak kok...! silahkan. Aku malah senang kalau kamu
main kesini, kan aku jadi punya teman.” Dia termenung kemudian . seakan sedang
memikirkan sesuatu.
“Tempat ini punya kenangan tersendiri buat keluargaku..”
ujarnya pelan. Aku baru saja mau menanyakan kenapa rumah ini di jual pada
papaku, “ada banyak hal indah.. tapi terampas begitu saja...”
“Maksudmu?”
Dia memandangiku. Matanya
yang berwarna cokelat bening bagai hendak bercerita banyak. Tapi kemudian dia
bergegas pergi dan aku tak bisa menahannya.
Gadis itu muncul lagi. Dengan gaun yang sama seperti
kemarin-kemarin. Apakah Cuma itu bajunya? Aneh. Aku melihatnya dan langsung
menyapanya. “mereka merampas keluargaku,” ujarnya saat aku sudah berdiri di
dekatnya.
“siapa?”
“Mereka... penjajah negeri
ini!”
Lah dia bicara apa sih?
Memangnya sekarang jaman apa? Siapa pula yang masih menjajah negeri ini?
“Mereka merampas
orangtuaku dan..kekasihku..,” tiba-tiba dia mulai menceritakan kisahnya padaku.
Malam bertambah larut dan aku pun tidak bisa menahan mataku untuk tidur.
Malam berikutnya mama dan papa belum juga pulang kerumah,
dan seperti biasa aku ditemani Diana yang bermain main piano di ruang musik
rumahku. “kalau boleh aku tahu..sebenarnya apa yang kamu ceritakan kemarin itu?
Tentang penjajahan yang merampas keluarga dan kekasihmu? Aku belum mengerti..”
matanya membulat lalu perlahan basah. “oh maaf kamu gak perlu cerita kalu itu
membuat mu sedih.” Diana menggeleng lalu menangis. Dan dia pergi. Aku kecewa
telah membuatnya sedih dengan pertanyaan ku tadi.
Klason mobil papa membangun kan ku, matahari pagi sangat
cerah, tiba-tiba Faras berlari ke kamarku dan memelukku, “kakak gak takut
tinggal dirumah sendirian?” tanyanya. “kakak kan ada teman disini Faras”
ucapku. Kuceritakan tentang teman baruku itu pada mama dan papa tapi mereka
hanya menertawaiku dan menganggap aku hanya bermimpi. Padahal jelas sekali
kalau itu bukanlah bunga tidurku. Begitu pun di kampus, hal yang sama aku
ceritakan pada Rara dia hanya terpaku dan tidak percaya dengan apa yang aku
ceritakan. Malah Rara berfikir Diana adalah hantu. Tiba-tiba bulu kudukku
merinding. Aku tidak percaya begitu saja dengan yang dikatakan Rara. Aku harus
membuktikannya sendiri.
Malam berikutnya, aku menunggu kedatangan Diana untuk
bermain piano, tapi Dia tak pernah muncul. ada perasaan sedih bercampur kecewa
di kepala ku. Kecewa karena dia pergi begitu saja. Dan sedih karena dia tak
sempat berpamitan denganku.
Dua minggu sudah aku tinggal di rumah ini, bersama
keheningan dan kesunyian yang tak pernah aku dapatkan di rumah-rumah ku yang
sebelumnya. Malam ini Faras ingin tidur di kamarku, alasannya karena dia baru
saja melihat hantu. “hahaha” aku menertawainya. Tapi yang dilihat Faras adalah
Diana. Temanku. Dia tersenyum padaku dan makin lama dia menghilang dari pandanganku.
akhirnya aku menyadari yang di katakan Rara benar. Temanku Diana adalah
hantu...!!
****
Komentar