Membandingkan Cerpen Malin Deman dan Cerpen Jaka Tarub Berdasarkan Ilmu Sastra Bandingan
ILMU
SASTRA BANDINGAN
NAMA
KELOMPOK 6:
1.
RAHMI YANA FITRI (14017040)
2.
MUTIA YUANTISYA (14017062)
3.
PIPIN ZAHARA (14017066)
PROGRAM
STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
22
FEBRUARI 2017
A. Pengertian
Sastra Bandingan Berdasarkan Batas Linguistik, Kultural, Geografi dan Politik.
Menurut Remak (dalam
Damono 2009:1), sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas
sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu serta
kepercayaan yang lain, seperti seni, filsafat, sejarah, sains, sosial, agama,
dan lain lain. Remak juga mengatakan bahwa ada dua kecenderungan sastra
bandingan, yaitu sastra harus dibandingan dengan sastra dan sastra dibandingan
dengan seni atau bahkan disiplin ilmu lain.
Abad ke-19 dan ke-20
telah menumbuhkan kegiatan akademik yang boleh dikatakan tidak dikenal
sebelumnya, yakni sastra bandingan yang memiliki prosedur dan kondisi sendiri.
Kegiatan itu pertama kali dicetuskan oleh Sainte-Beuve, dalam sebuah artikel
yang dimuat di Revue des Deux tahun 1868. Para peminat sastra di Eropa tertarik
untuk membicarakan sastra bandingan, bahkan Goethe dalam suratnya kepada
Eckermann pada tahun 1827 menyatakan bahwa
Sastra
nasional sekarang ini sudah menjadi istilah yang tak bermakna; dan bahwa zaman
sastra dunia sudah dekat, dan setiap orang harus mempercepat kedatangannya. (lihat
Damono, 2009:13)
Bahasa adalah bahan
baku kesusastraan tetapi harus disadari bahwa bahasa bukan benda mati,
melainkan ciptaan manusia dan mempunyai muatan budaya, dan linguistik dari
kelompok pemakaian bahasa tertentu. untuk melihat penggunaan bahasa yang khas
sastra harus membedakan bahasa sastra, bahasa sehari-hari, dan bahasa ilmiah.
Sastra mengenal berbagai bentuk dan selalu mengalami perubahan. Sastra juga
mengandung pikiran, bahasa sastra juga penuh dengan bahasa asosiasi, mengacu
pada ungkapan atau karya yang pernah diciptakan sebelumnya. Bahasa sastra
mempunyai fungsi ekspresif, berusaha mempengaruhi, membujuk, dan pada akhirnya
bisa mengubah sikap pembaca.
Perbatasan nasional,
atau perbatasan linguistik, benar-benar menyingkap efek riil dominasi dan
ketimpangan kesusastraan. Sastra di seluruh dunia dibentuk mengikuti model
nasional yang diciptakan dan dipromosikan Jerman pada akhir abad ke-18. Gerakan
nasional sastra, yang menyertai pembentukan ruang politik Eropa sejak permulaan
abad ke-19, bermuara pada esensialisasi kategori
kesusastraan dan kepercayaan bahwa garis terluar ruang kesusastraan harus
bertepatan dengan perbatasan nasional. Bangsa-bangsa dianggap sebagai unit-unit
terpisah yang memagari diri, tidak bisa saling direduksi; dari dalam spesifitas
autarkis mereka, entitas entitas itu memproduksi objek-objek kesusastraan
dengan. keharusan historis yang terpahat dalam sebuah cakrawala nasional.
Dalam
kenyataannya tentu wilayah sastra dunia yang luas itu terbagi dalam beberapa
kelompok berdasarkan ciri linguistiknya. Di Eropa ada tiga rumpun bahasa:
Germania, Roman, dan Slavia. Sastra Roman sering dipelajari sebagai salah satu
kesatuan, sejak terbitnya sejarah sastra karangan Bouterwerk sampai pada
Leonardo Olschki keduanya menulis tentang abad pertengahan. Sastra Germania
dibandingkan satu dengan lainnya pada abad pertengahan saja, karena pada masa
itu pengaruh kebudayaan Teutonik masih besar. Bahasa-bahasa Slavia mirip dari
segi linguistik; tradisi sastra Slavia serupa sampai pada bentuk mantranya.
Walaupun sangat terikat pada sistem linguistik, masing-masing bahasa sejarah
mantra juga bersifat Internasinal. Stefan Collini telah memaparkan tautologi
yang melandasi definisi. Sastra nasional untuk kasus Britania atau tepatnya,
Inggris. Hanya para pengarang yang menunjukkan karakteristik gamblang diakui
sebagai Inggris yang autentik, sebuah kategori yang definisinya bertumpu pada
contoh-contoh yang tersedia dalam sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang
itu sendiri.
Pembagian
sastra menurut kebangsaan menghasilkan sebuah bentuk astigmatisme. Sebuah
analisis tentang ruang kesusastraan Irlandia antara 1890 dan 1930 yang
mengabaikan berbagai peristiwa di London (kekuasaan politik, kolonial serta
kesusastraan, yang untuk melawan hal inilah maka ruang Irlandia itu dibangun)
dan di Paris (sumber alternatif dan kekuasaan kesusastraan yang netral secara
politis), atau diam-diam menganggap sepi peredaran, pengasingan, dan berbagai
bentuk penghargaan yang diberikan di berbagai ibu kota, pasti akan menimbulkan
pandangan parsial dan terdistorsi tentang pertaruhan dan relasi kekuasaan aktual
yang menghadang para pelaku sastra Irlandia. Begitu pula, sebuah kajian tentang
ruang kesusastraan Jerman dari akhir abad ke-18 yang mengabaikan hubungan
kompetitif dengan Perancis akan berisiko sepenuhnya menyalah pahami upaya-upaya
strukturisasinya. Tentu ini tidak berarti bahwa relasi kesusastraan antar-bangsa
adalah satu-satunya faktor penjelas dalam teks-teks kesusastraan; juga tidak
berarti bahwa kompleksitas kesusastraan direduksi ke dalam dimensi ini saja.
Banyak variable lain nasional (yakni yang bersifat internal bagi bidang
kesusastraan nasional), psikologis, psikoanalisis, formal atau formalis yang
memainkan peran. Nampaknya yang lebih perlu diupayakan adalah memperlihatkan,
dalam batas-batas struktural maupun historis, berapa banyak variabel, konflik
atau bentuk-bentuk kekerasan samar yang tetap tidak terdeteksi karena tak kasat
matanya struktur dunia ini.
Tulisan
kritis tentang Kafka, misalnya, sering terbatas hanya pada kajian biografis
psikologinya atau deskripsi Praha tahun 1900-an. Dalam hal ini layar. Biografis
dan nasional menghalangi kita melihat tempat sang pengarang di dunia-dunia lain
yang lebih besar dalam ruang gerakan nasionalis Yahudi waktu itu yang
berkembang di seluruh Eropa tengah dan timur; dalam perdebatan antara kubu
Bundis dan Yiddishis; sebagai salah satu yang didominasi dalam ruang linguistik
dan kultural Jerman, dan lain sebagainya. Filter nasional bertindak sebagai
semacam batas alami yang merintangi pengamat menimbang kekerasan relasi
kekuasaan politis dan kesusastraan yang mempengaruhi penulis.
Tiga bentuk utama unjuk diri dalam derajat yang
berlainan, tergantung pada posisi ruang yang ada: dominasi linguistik,
kesusastraan dan politik yang terakhir ini makin sering tampil dalam wajah
ekonomis. Ketiganya tumpang tindih, saling menembus dan mengaburkan sampai
sedemikian rupa hingga hanya bentuk yang paling gamblang yakni dominasi ekonomi
politik yang bisa dilihat. Banyak sekali ruang sastra yang tergantung secara
linguistik (Kanada, Australia, Selandia Baru, Belgia, Swiss, Quebec) tanpa
menjadi subordinat secara politis; yang lain-lainnya, terutama yang muncul dari
dekolonisasi, barangkali meraih kemerdekaan linguistik tetapi tetap tidak bebas
secara politis. Namun, subordinasi bisa pula diukur dalam batasan-batasan yang
murni sastra, lepas dari segala penindasan dan penundukan politis. Mustahil
menjelaskan jenis-jenis tertentu pengasingan, atau perubahan dalam bahasa
tertulis, baik yang sementara atau yang permanen. August Strindberg, Joseph
Conrad, Samuel Beckett, E. M. Cioran, umpamanya tanpa menghipotesiskan adanya
bentuk-bentuk dominasi yang sangat literer, kekuatan-kekuatan yang berada di
luar bingkai kekuasaan-politik yang mana pun.
B.
Contoh Karya Sastra yang Dapat Dibandingkan
Pada cerita Malin Deman dan Jaka Tarub memiliki
keterkaitan. Keterkaitan yang tampak pada tema, genre, motif, dan tokoh. Dari segi tema, tema dari dua
cerita ini adalah percintaan. Genre kedua cerita ini adalah legenda. Motif
dalam cerita ini adalah untuk mendapatkan wanita yang diinginkan. Tokoh utama
dalam kedua cerita ini adalah seorang laki-laki.
Permasalahan batas kultural dan linguistik, dalam
cerita Malin Daman barlatar belakang budaya Minangkabau, yakni dari Sumatera
Barat. Dalam penyampaian cerita menggunakan bahasa Minang. Terlihat pada
kutipan berikut: “Adolah pado suatu hari,
hari nan sadnag tangah hari, sadang bunta bayang-bayang, sadang langang urang
di kampuang, sadang rami urang di balai, tabiklah kiro-kiro Malin Deman, pai
mandi parintang hati, iyo Kalubuak Kamuniang Gadiang, di ranah kampuang
Tibarau, dalam nagari Batang Mua”. Dalam cerita ditampilkan keterkaitan
dengan kultural adalah adanya rumah gadang, nama tempat yang digunakan, seperti
Lubuak Kamuniang Gadiang, Kampuang Tibaru, Nagari Batu Mua. Dalam sumber
seluruh penceritaan menggunakan bahasa Minang dengan menyisipkan
petatah-petitih. Sedangkan dalam cerita Jaka Tarub, sumber menggunakan bahasa
Indonesia. terlihat pada kutipan berikut: “Sepasang
kaki telapak kaki telanjang milik seorang gadis terdiam di atas rerumputan.
Kedua ibu jarinya saling bersentuhan. Seuntai binggel emas melingkar di pergelangankaki
kanan. Mempercantik sepasang kaki langsat seolah permuukaan sawo yang dibesut
kulit kelapa. Membuat siapapun melihat bisa menafsirkan wajah pemiliknya”. Cerita
ini berasal dari daerah di Jawa Tengah, yang terkait dengan unsur kultural
ditemukan kata-kata sendang, sendang adalah tempat pemandian seperti sungai.
Batas politik dan geografis yang yang terdapat dalam
cerita Malin Deman adalah, Malin Deman mencuri baju Puti Bungsu kemudian di
simpan di dalam bajunya. Setelah itu disembunyikan di dalam paran bubuangan. Terlihat pada kutipan berikut ini: “ Kununlah si Malin Deman, tabik kiro-kiro
dalam hati, lalo melangkah lambek-lambek, katampek baju Puti nan banyak,
diambiak baju sunsang baraiak, iyo baju Putu Bungsu, diambiak lalu dilipek,
disuaruakkan dalam bajunyo, surang pun tidak nan manampak, baguluik lari ka
hilia aia”. Ibu Malin Deman memberitahu keberadaan baju Puti Bungsu yang
disembunyikan oleh Malin Deman melalui daun sirih yang di pukulkan ke tubuh ibu
Malin Deman. Batas politik pada cerita Jaka Tarub, Jaka Tarub mengambil baju
berwarna merah dengan cara mencuri dan bersembunyi di semak-semak. Terlihat
pada kutipan berikut ini: “ Setelah Jaka
merasa keadaan sudah aman, dirinya menarik ranting bertali itu perlahan-lahan.
Ranting itu menyangkut di baju dan selendang Nawang. Tak lama kemudian, baju
dan selendang itu berhasil di curinya”. Setetelah itu, pakaian itu disimpan
di dalam lumbung padi. Nawang Mulan menemukan baju dan selendangnya sendiri
ketika mengambil padi.
Komentar